BAB I. PENDAHULUAN
Pemberantasan korupsi harus
menjadi prioritas yang paling utama, karena kalau tidak, apapun yang dilakukan
hasilnya tidak akan optimal. Korupsi adalah akar dari praktis semua
permasalahan bangsa yang sedang kita hadapi dewasa ini. Korupsi tidak
terbatas pada mencuri uang, tetapi lambat laun juga merasuk ke dalam mental,
moral, tata nilai dan cara berpikir. Sejak zaman Yunani kuno sudah dikenali
adanya pikiran yang sudah teracuni oleh korupsi. Maka sangat sering kita baca
istilah corrupted mind.
Daya rusaknya korupsi sangat
dahsyat, karena sudah menjadikan orang tidak normal lagi dalam sikap, perilaku
dan nalar berpikirnya. Mengingat
korupsi pada umumnya dilakukan oleh pegawai
negeri
atau
penyelenggara negara,
maka
para calon pegawai negeri sipil dilingkungan instansi pemerintah
dituntut memahami tindakan- tindakan apa yang dilarang dilakukan karena hal itu merupakan
tindakan yang
dapat dikategorikan tindak pidana korupsi.
BAB
II. PENGERTIAN KORUPSI
A. Definisi Korupsi
Saat ini, korupsi menjadi sebuah
istilah yang sudah biasa kita dengar. tetapi sebagian besar dari kita masih
belum mengetahui dari pengertian korupsi. Sesungguhnya pengertian “korupsi” secara harfiah itu sangat luas
artinya, bervariasi menurut
waktu, tempat dan bangsa.
Berikut ini adalah beberapa definisi
Korupsi:
1. Menurut kamus umum bahasa Indonesia, korupsi
ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
2. Korupsi menurut kamus hukum adalah dengan melakukan tindak pidana
memperkaya diri sendiri yang secara
langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan/
perekonomian negara
3. Korupsi yang dimaksud oleh A.S.
Hornby cs adalah penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa
suap, disamping diartikan juga “Decay” yaitu kebusukan atau kerusakan dimana yang
dimaksud busuk atau rusak tersebut adalah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi, sebab seorang yang bermoral (berakhlak) baik tentu tidak akan
melakukan korupsi.
B. Ciri-ciri Korupsi
Perbuatan korupsi di manapun
dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Dan ciri khas tersebut bisa
bermacam-macam, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Melibatkan lebih dari satu orang;
b. Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan
pegawai negeri atau anggota birokrasi negara, korupsi juga terjadi di
organisasi usaha swasta;
c.
Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang
semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita;
d. Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya;
e. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan
timbal balik yang tidak selalu berupa uang;
f.
Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau
masyarakat umum;
g. Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma
tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat;
h. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk
menerima pembayaran uang dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan
tempat seseorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
Dari
segi tipologi, korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis yang berbeda. Tujuh jenis
itu adalah korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi yang
memeras (extortive corruption), korupsi investif (investive
corruption), korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), korupsi
defensif (defensive corruption), korupsi otogenik (autogenic
corruption), dan korupsi dukungan (supportive corruption).
BAB III. PENYEBAB TERJADINYA KORUPSI
Penyebab Terjadinya Korupsi
Menurut
Surachmin dan Suhandi Cahaya (2010), penyebab terjadinya korupsi beragam dan
saling mengait antara penyebab yang satu dengan penyebab yang lain dan merupakan lingkaran setan yang
tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya serta sulit untuk dicari penyebab mana
yang memicu terlebih dahulu. Diantaranya berbagai penyebab korupsi
sebagai berikut:
a) Sifat tamak dan keserakahan
Apabila
dilihat dari segi pelaku korupsi,
sebab-sebab seseorang melakukan korupsi karena dorongan dari dalam dirinya,
yang dapat dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan
korupsi. Kemungkinan orang yang
melakukan korupsi adalah yang penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah
sudah berlebih bila dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya.
b) Ketimpangan penghasilan
sesama pegawai negeri/pejabat negara
Walaupun
Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sama,
tetapi mengenai gaji dan penghasilan/remunerasi bisa berbeda. Sebagai contoh
Kementerian Keuangan pegawainya memperoleh gaji lebih dibandingkan dengan
instansi lain
c) Gaya hidup yang konsumtif
Gaya
hidupnyang konsumtif akan manjadikan penghasilan yang rendah semakin tidak
mencukupi.Hal ini akan mendorong seseorang untuk melakukan korupsi bilamana
kesempatan untuk melakukannya ada.
d) Penghasilan yang tidak
memadai
Penghasilan
pegawai negeri seharusnya dapat memenuhi kebutuhan hidup pegawai tersebut
beserta keluarganya secara wajar. Apabila ternyata penghasilannya sebagai pegawai negeri tidak dapat menutup
kebutuhan hidupnya secara wajar,
misalnya hanya cukup untuk hidup wajar selama sepuluh hari dalam sebulan, maka
mau tidak mau pengawai tersebut mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini adalah suatu keterpaksaan untuk mencari
tambahan penghasilan, karena apabila itu tidak dilakukan, maka dirinya dan
keluarga akan mati kelaparan. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan tersebut
tentu sudah merupakan bentuk korupsi, misalnya menyewakan sarana dinas.
e) Kurang adanya keteladannan
dari pimpinan
Apabila
pimpinan mencontohkan gaya hidup yang bersih dengan tingkat kehidupan ekonomi
yang wajar, maka anggota-anggota akan cenderung untuk bergaya hidup yang sama.
Akan tetapi, teladan yang baik dari pimpinan tidak menjamin bahwa korupsi tidak
akan muncul di organisasi tersebut.
f) Tidak adanya kultur
organisasi yang benar
Apabila
kultur tidak ditangani dengan baik, maka sejumlah anggota mungkin akan
melakukan berbagai bentuk perbuatan yang tidak baik, yang lama-lama menjadi
kebiasaan. Kebiasaan tersebut akan menular ke anggota yang lain dan kemudian
perbuatan tersebut akan dianggap sebagai kultur atau budaya dilingkungan yang
bersangkutan.
g) Sistem akuntabilitas di
instansi pemerintah kurang memadai
Pada
organisasi di mana setiap unit organisanya mempunyai sasaran yang sudah
ditetapkan untuk dicapai yang kemudian setiap penggunaan sumberdayanya selalu
dikaitkan dengan sasaran yang harus dicapai tersebut, maka setiap unsur,
kualitas dan kuantitas sumberdaya yang teredia akan selalu dimonitor dengan
baik. Jika tingkat ketertarikan dari manajemen dijajaran pemerintah untuk
mengamankan sumber daya tidak terlalu tinggi yang pada akhirnya secara perlahan
tetapi pasti memberikan dorongan untuk terjadinya kebocoran sumber daya yangn
terhadap bawahannya dikategorikan sebagai
dimiliki instansi pemerintah atau perusahaan negara.
h) Kelemahan sistem
pengendalian manajemen
Pada
organisasi di mana pengendalian manajemennya lemah akan lebih banyak pengawai
yang melakukan korupsi dibandingkan pada organisasi yang pengendaliannya manajemennyan
kuat. Seorang pegawai yang mengetahui bahwa sistem pengendalian manajemen pada
organisasi di mana di bekerja lemah, maka akan timbul kesempatan atau peluang
baginya untuk melakukan korupsi. Pengawasan oleh atasan terhadap bawahannya
dikategorikan sebagai suatu bentuk supervisi yang menjadi salah satu unsur
sistem pengendalian. Pengendalian manajemen terdiri atas organisasi, kebijkan,
perencanaan, prosedur, pencatatan, pelaporan, pembinaan personil, supervisi/review intern yang berkaitan
dengan penyebab korupsi.
i) Manajemen cenderung menutup
korupsi di dalam organisasinya
Pada
umumnya jajaran manajemen organisasi di mana terjadi korupsi enggan membantu
mengungkapkan korupsi tersebut walaupu korupsi tersebut sama sekali tidak
melibatkan dirinya. Kemungkinan keengganan tersebut timbul karena terungkapnya
praktik korupsi di dalam organisasinya. Akibatnya, jajaran manajemen cenderung
untuk menutup-nutupi korupsi yang ada, dan berusaha menyelesaikannya dengan
cara-caranya sendiri yang kemudian dapat menimbulkan praktik korupsi yang lain.
Keengganan ini mengakibatkan upaya mendeteksi praktik korupsi melalaui kegiatan
audit oleh jajaran pemeriksa maupun kegiatan
penyelidikan dan penyidikan menjadi sulit.
j) Nilai-nilai negatif yang
hidup dalam masyarakat
Nilai-nilai
yang berlaku dimasyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat kondusif untuk terjadinya hal itu. Misalnya, banyak
anggota masyarakat yang dalam pergaulan sehari-harinya ternyata dalam
menghargai seseorang lebih didasarkan pada kekayaan yang dimiliki orang yang
bersangkutan. Ini dapat dilihat bahwa sebagian besar anggota masyarakat akan
memberikan perlakukan berbeda terhadap seseorang apabila melihat penampilan
lahiriah atau kendaraanya yang mewah atau rumah mewah.
k) Masyarakat tidak mau
menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh korupsi adalah masyarakat sendiri.
Masyarakat
pada umumnya beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, maka pihak
yang akan paling dirugikan adalah negara atau pemerintah. Masyarakat kurang
menyadari bahwa apabila negara atau pemerintah yang dirugikan, maka secara
pasti juga merugikan masyarakat sendiri.
l) Moral yang lemah
Seseorang
yang moralnya tidak kuat cenderung lebih mudah untuk terdorong berbuat korupsi
karena adanya godaan. Godaan terhadap seseorang pegawai untuk melakukan korupsi
berasal dari atasannya, teman setingkat, bawahan, atau pihak luar yang
dilayani. Apabila seseorang pegawai yang melihat atasannya melakukan korupsi,
maka pegawai tersebut cenderung akan melakukan korupsi juga. Karena dia
berpendapat bahwa apabila atasannya tersebut mengetahui perbuatannya
kemungkinan atasan tersebut mendiamkan atau pura-pura tidak tahu, tidak akan
mengenakan sanksi atau paling tidak mengenakan sanksi ringan.
m) Kebutuhan hidup yang
mendesak
Kebutuhan
yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk membayar utang,
kebutuhan untuk membayar pengobatan yang mahal karena istri sakit atau anak
sakit, kebutuhan untuk membiayai sekolah anak dll. Dalam hal seperti itu akan
sangat tepat apabila dipikirkan suatu sistem yang dapat membantu memberikan
jalan keluar bagi para pegawai untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang
sifatnya mendensak. Kebutuhan – kebutuhan yang mendesak tersebut akan menjadikan
penghasilan yang sedikit semakin tersa kurang. Hal tersebut akan mendorong
seseorang untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk melakukan korupsi
n) Malas atau tidak mau bekerja
keras
Keinginan
untuk mendapatkan sesuatu yang banyak dalam waktu singkat tetapi malas untuk
bekerja keras dan meningkatkan kemampuan untuk meningkatkan penghasilannya,
akan memanfaatkan kesempatan untuk mengambil keuntungan memperkaya diri.
o) Ajaran-ajaran agama yang
kurang diterapkan secara benar
Individu
pelaku korupsi adalah orang-orang yang beragama, tetapi tidak mampu
mengaplikasikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dengan tidak melakukan
tindakan-tindakan korup, bahkan ada yang
berpendapat bahwa agama adalah agama dan korupsi adalah korupsi.
p) Lemahnya penegakan hukum
Peraturan perundang-undangan dibidang tindak pidana
korupsi sudah cukup memadai, walaupun beberapa dari ancaman hukuman (sanksi)
dirasa masih sangat rendah. Penagakan hukum tidak efektif disebabkan seringnya
Penegak Hukum terlibat dalam praktek-praktek korupsi, baik pada kasus yang
ditangani maupun dalam praktek penegakan hkum lainnya.
q) Sanksi yang tidak setimpal
dengan hasil korupsi
Koruptor
melakukan tindakan korupsi secara berulang disebabkan karena sanksi yang
dijatuhkan kepadanya sangat rendah, baik berupa kurungan penjara ataupun denda
berupa uang, demikian pula dengan sanksi sosial dan karir pekerjaannya yang
tidak setimpal dengan keuntungan yang didapatkannya dari tindakan korupsi yang
dilakukan,
r) Kurang atau tidak ada
pengendalian
Mengakibatkan
adanya niat terselubung sejak tahap perencanaan melalui rekayasa perhitungan
–perhitungan hasil mark up kedalam dokumen perencanaan untuk bisa dilaksanakan
dengan melibatkan pihak pengawas dan pengendali dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan pengawasan.
s) Faktor Politik
Faktor
politik juga merupakan pemicu terjadinya korupsi. Menurut Lord Acton
(1834-1902) di Inggris menyebutkan bahwa faktor kekuasaanlah yang menyerebabkan
korrupsi, kekuasaan yang berllebihan menyebabkan korupsi berlebihan pula.
t) Budaya organisasi pemerintah
Dilingkungan
organisasi pemerintah telah berkembang tingkah laku yang dianggap sebagai
kebenaran, seperti dalam perencanaan selalu melakukan mark up (penggelembungan) biaya atau mengalokasikan biaya/kebutuhan
tidak sesuai dengan harga yang wajar dan kebutuhan yang riil. Dalam
pelaksanaannya mengalamim kesulitan manghabiskan anggaran yang tersedia,
sehingga mengupayakan berbagai cara untuk menghabiskan anggaran tersebut, pada
kegiatan inilah potensi terjadinya tindakan korupsi sangat besar.
BAB IV. DAMPAK NEGATIF KORUPSI
1. Dampak Ekonomi, Seperti :
pembangunan tersendat, fasilitas public menurun baik kuantitas maupun
kualitasnya
2. Tidaka
ada lagi masarakat yang mau membaar pajak dan keadaan Negara akan kacau balau.
3. Kebijakan Pemerintah tidak dapat
berjalan optimal
4. Menurunkan kualitas pelayanan
pemerintah di berbagai bidang
5. Meningkatkan kemiskinan, pengangguran,
dan kesenjangan sosial
6. Munculnya masalah sosial
7. Ekonomi biaya tinggi
8. Uang Negara banyak yang dipindahkan
ke luar negeri
9. Berkurangnya minat investor
10. Ekonomi kerakyatan menjadi hanya
angan-angan, dan pemerintah lebih pro kepada pengusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar