Minggu, 11 November 2012

Materi Pelengkap Modul (MPM), Diklat Prajabatan Gol III, Mata Diklat Pemberantasan Korupsi



BAB I. PENDAHULUAN


Pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas yang paling utama, karena kalau tidak, apapun yang dilakukan hasilnya tidak akan optimal. Korupsi adalah akar dari praktis semua permasalahan bangsa yang sedang kita hadapi dewasa ini. Korupsi tidak terbatas pada mencuri uang, tetapi lambat laun juga merasuk ke dalam mental, moral, tata nilai dan cara berpikir. Sejak zaman Yunani kuno sudah dikenali adanya pikiran yang sudah teracuni oleh korupsi. Maka sangat sering kita baca istilah corrupted mind.

Daya rusaknya korupsi sangat dahsyat, karena sudah menjadikan orang tidak normal lagi dalam sikap, perilaku dan nalar berpikirnya. Mengingat korupsi pada umumnya dilakukan oleh pegawai  negeri  atau  penyelenggara  negara,  maka  para calon pegawai negeri sipil  dilingkungan instansi pemerintah      dituntut  memahami  tindakan- tindakan apa yang dilarang dilakukan karena hal itu merupakan  tindakan  yang  dapat  dikategorikan  tindak pidana korupsi.



BAB II.  PENGERTIAN KORUPSI

      A. Definisi Korupsi
Saat ini, korupsi menjadi sebuah istilah yang sudah biasa kita dengar. tetapi sebagian besar dari kita masih belum mengetahui dari pengertian korupsi. Sesungguhnya pengertian  “korupsi” secara harfiah itu sangat luas artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Berikut ini adalah beberapa definisi Korupsi:
1.    Menurut kamus umum bahasa Indonesia, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
2.    Korupsi menurut kamus hukum adalah dengan melakukan tindak pidana memperkaya diri sendiri yang secara  langsung  atau  tidak  langsung  merugikan  keuangan/  perekonomian negara
3.    Korupsi yang dimaksud oleh A.S. Hornby cs adalah penawaran/pemberian dan penerimaan hadiah-hadiah berupa suap, disamping diartikan juga “Decay” yaitu kebusukan atau kerusakan dimana yang dimaksud busuk atau rusak tersebut adalah moral atau akhlak oknum yang melakukan perbuatan korupsi, sebab seorang yang bermoral (berakhlak) baik tentu tidak akan melakukan korupsi.



B.   Ciri-ciri Korupsi
Perbuatan korupsi di manapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Dan ciri khas tersebut bisa bermacam-macam, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Melibatkan lebih dari satu orang;
b.  Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta;
c. Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita;
d.  Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya;
e.  Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang;
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum;
g.  Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat;
h. Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
Dari segi tipologi, korupsi dapat dibagi dalam tujuh jenis yang berbeda. Tujuh jenis itu adalah korupsi transaktif (transactive corruption), korupsi yang memeras (extortive corruption), korupsi investif (investive corruption), korupsi perkerabatan (nepotistic corruption), korupsi defensif (defensive corruption), korupsi otogenik (autogenic corruption), dan korupsi dukungan (supportive corruption).
 



BAB III. PENYEBAB TERJADINYA KORUPSI


Penyebab Terjadinya Korupsi
Menurut Surachmin dan Suhandi Cahaya (2010), penyebab terjadinya korupsi beragam dan saling mengait antara penyebab yang satu dengan penyebab yang lain  dan merupakan lingkaran setan  yang  tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya serta sulit untuk dicari  penyebab mana  yang memicu terlebih dahulu. Diantaranya berbagai penyebab korupsi sebagai berikut:
a)     Sifat tamak dan keserakahan
Apabila dilihat  dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab seseorang melakukan korupsi karena dorongan dari dalam dirinya, yang dapat dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan korupsi.  Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah yang penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah sudah berlebih bila dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya.

b)     Ketimpangan penghasilan sesama pegawai negeri/pejabat negara
Walaupun Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sama, tetapi mengenai gaji dan penghasilan/remunerasi bisa berbeda. Sebagai contoh Kementerian Keuangan pegawainya memperoleh gaji lebih dibandingkan dengan instansi lain

c)     Gaya hidup yang konsumtif
Gaya hidupnyang konsumtif akan manjadikan penghasilan yang rendah semakin tidak mencukupi.Hal ini akan mendorong seseorang untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk melakukannya ada.

d)     Penghasilan yang tidak memadai
Penghasilan pegawai negeri seharusnya dapat memenuhi kebutuhan hidup pegawai tersebut beserta keluarganya secara wajar. Apabila ternyata penghasilannya  sebagai pegawai negeri tidak dapat menutup kebutuhan  hidupnya secara wajar, misalnya hanya cukup untuk hidup wajar selama sepuluh hari dalam sebulan, maka mau tidak mau pengawai tersebut mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini adalah suatu keterpaksaan untuk mencari tambahan penghasilan, karena apabila itu tidak dilakukan, maka dirinya dan keluarga akan mati kelaparan. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan tersebut tentu sudah merupakan bentuk korupsi, misalnya menyewakan sarana dinas.

e)     Kurang adanya keteladannan dari pimpinan
Apabila pimpinan mencontohkan gaya hidup yang bersih dengan tingkat kehidupan ekonomi yang wajar, maka anggota-anggota akan cenderung untuk bergaya hidup yang sama. Akan tetapi, teladan yang baik dari pimpinan tidak menjamin bahwa korupsi tidak akan muncul di organisasi tersebut.

f)      Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Apabila kultur tidak ditangani dengan baik, maka sejumlah anggota mungkin akan melakukan berbagai bentuk perbuatan yang tidak baik, yang lama-lama menjadi kebiasaan. Kebiasaan tersebut akan menular ke anggota yang lain dan kemudian perbuatan tersebut akan dianggap sebagai kultur atau budaya dilingkungan yang bersangkutan.

g)     Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai
Pada organisasi di mana setiap unit organisanya mempunyai sasaran yang sudah ditetapkan untuk dicapai yang kemudian setiap penggunaan sumberdayanya selalu dikaitkan dengan sasaran yang harus dicapai tersebut, maka setiap unsur, kualitas dan kuantitas sumberdaya yang teredia akan selalu dimonitor dengan baik. Jika tingkat ketertarikan dari manajemen dijajaran pemerintah untuk mengamankan sumber daya tidak terlalu tinggi yang pada akhirnya secara perlahan tetapi pasti memberikan dorongan untuk terjadinya kebocoran sumber daya yangn terhadap bawahannya dikategorikan sebagai  dimiliki instansi pemerintah atau perusahaan negara.

h)     Kelemahan sistem pengendalian manajemen
Pada organisasi di mana pengendalian manajemennya lemah akan lebih banyak pengawai yang melakukan korupsi dibandingkan pada organisasi yang pengendaliannya manajemennyan kuat. Seorang pegawai yang mengetahui bahwa sistem pengendalian manajemen pada organisasi di mana di bekerja lemah, maka akan timbul kesempatan atau peluang baginya untuk melakukan korupsi. Pengawasan oleh atasan terhadap bawahannya dikategorikan sebagai suatu bentuk supervisi yang menjadi salah satu unsur sistem pengendalian. Pengendalian manajemen terdiri atas organisasi, kebijkan, perencanaan, prosedur, pencatatan, pelaporan, pembinaan personil, supervisi/review intern yang berkaitan dengan penyebab korupsi.



i)       Manajemen cenderung menutup korupsi di dalam organisasinya
Pada umumnya jajaran manajemen organisasi di mana terjadi korupsi enggan membantu mengungkapkan korupsi tersebut walaupu korupsi tersebut sama sekali tidak melibatkan dirinya. Kemungkinan keengganan tersebut timbul karena terungkapnya praktik korupsi di dalam organisasinya. Akibatnya, jajaran manajemen cenderung untuk menutup-nutupi korupsi yang ada, dan berusaha menyelesaikannya dengan cara-caranya sendiri yang kemudian dapat menimbulkan praktik korupsi yang lain. Keengganan ini mengakibatkan upaya mendeteksi praktik korupsi melalaui kegiatan audit oleh jajaran pemeriksa maupun kegiatan  penyelidikan dan penyidikan menjadi sulit.

j)       Nilai-nilai negatif yang hidup dalam masyarakat
Nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi.  Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kondusif untuk terjadinya hal itu. Misalnya, banyak anggota masyarakat yang dalam pergaulan sehari-harinya ternyata dalam menghargai seseorang lebih didasarkan pada kekayaan yang dimiliki orang yang bersangkutan. Ini dapat dilihat bahwa sebagian besar anggota masyarakat akan memberikan perlakukan berbeda terhadap seseorang apabila melihat penampilan lahiriah atau kendaraanya yang mewah atau rumah mewah.

k)     Masyarakat tidak mau menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh korupsi adalah masyarakat sendiri.
Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, maka pihak yang akan paling dirugikan adalah negara atau pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa apabila negara atau pemerintah yang dirugikan, maka secara pasti juga merugikan masyarakat sendiri.

l)       Moral yang lemah
Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung lebih mudah untuk terdorong berbuat korupsi karena adanya godaan. Godaan terhadap seseorang pegawai untuk melakukan korupsi berasal dari atasannya, teman setingkat, bawahan, atau pihak luar yang dilayani. Apabila seseorang pegawai yang melihat atasannya melakukan korupsi, maka pegawai tersebut cenderung akan melakukan korupsi juga. Karena dia berpendapat bahwa apabila atasannya tersebut mengetahui perbuatannya kemungkinan atasan tersebut mendiamkan atau pura-pura tidak tahu, tidak akan mengenakan sanksi atau paling tidak mengenakan sanksi ringan.

m)   Kebutuhan hidup yang mendesak
Kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk membayar utang, kebutuhan untuk membayar pengobatan yang mahal karena istri sakit atau anak sakit, kebutuhan untuk membiayai sekolah anak dll. Dalam hal seperti itu akan sangat tepat apabila dipikirkan suatu sistem yang dapat membantu memberikan jalan keluar bagi para pegawai untuk menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendensak. Kebutuhan – kebutuhan yang mendesak tersebut akan menjadikan penghasilan yang sedikit semakin tersa kurang. Hal tersebut akan mendorong seseorang untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk melakukan korupsi

n)     Malas atau tidak mau bekerja keras
Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang banyak dalam waktu singkat tetapi malas untuk bekerja keras dan meningkatkan kemampuan untuk meningkatkan penghasilannya, akan memanfaatkan kesempatan untuk mengambil keuntungan memperkaya diri.

o)     Ajaran-ajaran agama yang kurang diterapkan secara benar
Individu pelaku korupsi adalah orang-orang yang beragama, tetapi tidak mampu mengaplikasikan ajaran-ajaran agama yang dianutnya dengan tidak melakukan tindakan-tindakan korup,  bahkan ada yang berpendapat bahwa agama adalah agama dan korupsi adalah korupsi.
p)     Lemahnya penegakan hukum
Peraturan  perundang-undangan dibidang tindak pidana korupsi sudah cukup memadai, walaupun beberapa dari ancaman hukuman (sanksi) dirasa masih sangat rendah. Penagakan hukum tidak efektif disebabkan seringnya Penegak Hukum terlibat dalam praktek-praktek korupsi, baik pada kasus yang ditangani maupun dalam praktek penegakan hkum lainnya.

q)     Sanksi yang tidak setimpal dengan hasil korupsi
Koruptor melakukan tindakan korupsi secara berulang disebabkan karena sanksi yang dijatuhkan kepadanya sangat rendah, baik berupa kurungan penjara ataupun denda berupa uang, demikian pula dengan sanksi sosial dan karir pekerjaannya yang tidak setimpal dengan keuntungan yang didapatkannya dari tindakan korupsi yang dilakukan, 

r)      Kurang atau tidak ada pengendalian
Mengakibatkan adanya niat terselubung sejak tahap perencanaan melalui rekayasa perhitungan –perhitungan hasil mark up kedalam dokumen perencanaan untuk bisa dilaksanakan dengan melibatkan pihak pengawas dan pengendali dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

s)     Faktor Politik
Faktor politik juga merupakan pemicu terjadinya korupsi. Menurut Lord Acton (1834-1902) di Inggris menyebutkan bahwa faktor kekuasaanlah yang menyerebabkan korrupsi, kekuasaan yang berllebihan menyebabkan korupsi berlebihan pula.

t)      Budaya organisasi pemerintah
Dilingkungan organisasi pemerintah telah berkembang tingkah laku yang dianggap sebagai kebenaran, seperti dalam perencanaan selalu melakukan mark up (penggelembungan) biaya atau mengalokasikan biaya/kebutuhan tidak sesuai dengan harga yang wajar dan kebutuhan yang riil. Dalam pelaksanaannya mengalamim kesulitan manghabiskan anggaran yang tersedia, sehingga mengupayakan berbagai cara untuk menghabiskan anggaran tersebut, pada kegiatan inilah potensi terjadinya tindakan korupsi sangat besar.
 


BAB IV. DAMPAK NEGATIF KORUPSI

1.     Dampak Ekonomi, Seperti : pembangunan tersendat, fasilitas public menurun baik kuantitas maupun kualitasnya
2. Tidaka ada lagi masarakat yang mau membaar pajak dan keadaan Negara akan kacau balau.   
3.     Kebijakan Pemerintah tidak dapat berjalan optimal
4.     Menurunkan kualitas pelayanan pemerintah di berbagai bidang
5.     Meningkatkan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial
6.     Munculnya masalah sosial

7.     Ekonomi biaya tinggi
8.     Uang Negara banyak yang dipindahkan ke luar negeri
9.     Berkurangnya minat investor
10.  Ekonomi kerakyatan menjadi hanya angan-angan, dan pemerintah lebih pro kepada pengusaha.
  


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar