PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1999
TENTANG
PENGAWETAN
JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
||
|
|
|
|
|
|
Menimbang
|
:
|
a.
bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber
daya alam yang tidak ternilai harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga
melalui upaya pengawetan jenis;
b.
bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai
pelaksanaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
|
Mengingat
|
:
|
1. Pasal 5 Ayat
(2) dan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
4. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3419);
5. Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478);
6. Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);
7. Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3556);
8. Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
9. Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3544);
10. Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3776).
|
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN :
|
||
|
||
Menetapkan
|
:
|
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGAWE-TAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA.
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM |
||
|
||
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1.
Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam
maupun di luar habitatnya tidak punah.
2.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar
habitatnya adalah upaya menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar
tidak punah.
3.
Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di
bidang konservasi tumbuhan dan atau satwa di luar habitatnya (ex situ),
baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah.
4.
Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya
untuk mengenal jenis, keadaan umum, status populasi dan tempat hidupnya yang
dilakukan di dalam habitatnya.
5.
Inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa adalah
upaya mengetahui kondisi dan status populasi secara lebih rinci serta daerah
penyebarannya yang dilakukan di dalam dan di luar habitatnya maupun di
lembaga konservasi.
6.
Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara
ilmiah disebut species atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut
sub-species baik di dalam maupun di luar habitatnya.
7.
Populasi adalah kelompok individu dari jenis
tertentu di tempat tertentu yang secara alami dan dalam jangka panjang
mempunyai kecenderungan untuk mencapai keseimbangan populasi secara dinamis
sesuai dengan kondisi habitat beserta lingkungannya.
8.
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di
bidang kehutanan.
|
||
|
||
|
||
Pasal 2
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk :
a.
menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya
kepunahan;
b.
menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa;
c.
memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem
yang ada;
agar dapat
dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.
|
||
|
||
|
||
|
||
BAB II
UPAYA PENGAWETAN |
||
|
||
Pasal 3
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya :
a. penetapan dan
penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
b. pengelolaan
jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;
c. pemeliharaan
dan pengembangbiakan.
|
||
|
||
|
||
BAB III
PENETAPAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA |
||
|
||
Pasal 4
(1) Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas
dasar golongan :
a. tumbuhan dan
satwa yang dilindungi;
b. tumbuhan dan
satwa yang tidak dilindungi.
(2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Perubahan dari jenis
tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah mendapat pertimbangan Otoritas
Keilmuan (Scientific Authority).
|
||
|
||
|
||
|
||
Pasal 5
(1) Suatu jenis tumbuhan dan
satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi
kriteria :
a. mempunyai
populasi yang kecil;
b. adanya
penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;
c. daerah
penyebaran yang terbatas (endemik).
(2) Terhadap jenis tumbuhan dan
satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan upaya pengawetan.
|
||
|
||
|
||
|
||
Pasal 6
Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat
diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai
tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi
termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1).
|
||
|
||
BAB IV
PENGELOLAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA SERTA HABITATNYA |
||
|
||
|
||
Bagian Pertama
Umum |
||
|
||
Pasal 7
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur
dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi arti ketentuan
tentang pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa pada kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang
mengatur mengenai kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.
|
||
|
||
Pasal 8
(1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam habitatnya (in
situ).
(2) Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan kegiatan pengelolaan di
luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi.
(3) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di
dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan :
a. Identifikasi;
b. Inventarisasi;
c. Pemantauan;
d. Pembinaan
habitat dan populasinya;
e. Penyelamatan
jenis;
f. Pengkajian,
penelitian dan pengembangan.
(4) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya
(ex situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan :
a. Pemeliharaan;
b. Pengembangbiakan;
c. Pengkajian,
penelitian dan pengembangan;
d. Rehabilitasi
satwa;
e. Penyelamatan
jenis tumbuhan dan satwa.
|
||
Bagian Kedua
Pengelolaan dalam Habitat (In Situ) |
||
|
||
Pasal 9
(1) Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam
habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri.
|
||
|
||
|
||
|
||
Pasal 10
(1) Pemerintah melaksanakan
inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b, untuk
mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.
(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan
pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam
pelaksanaan survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat
(3) diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
|
||
Pasal 11
(1) Pemerintah melaksanakan pemantauan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, untuk mengetahui
kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa dari waktu ke
waktu.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui survei dan pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan
dan satwa secara berkala.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam
pelaksanaan survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
Pasal 12
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan populasi
jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan seimbang dengan daya dukung
habitatnya.
(2) Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan :
a.
pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
b.
penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan
sarang satwa, pohon sumber makan satwa;
c.
pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang
dan mandi satwa;
d.
penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi
satwa;
e.
penambahan tumbuhan atau satwa asli;
f.
pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
(3)
Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi
tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
|
||
Pasal 13
(1) Pemerintah melaksanakan
tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3) huruf e, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam
bahaya kepunahan yang masih berada di habitatnya.
(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengembangbiakan,
pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dari habitatnya ke habitat di
lokasi lain.
(3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk
melakukan tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
Pasal 14
(1) Pemerintah melaksanakan
pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, untuk menunjang tetap terjaganya
keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara
lestari.
(2) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek
biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan
ujicoba.
(3) Pemerintah dapat
bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan pengkajian, penelitian
dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh
Menteri.
|
||
|
||
|
||
|
||
Bagian Ketiga
Pengelolaan di Luar Habitat (Ex Situ) |
||
|
||
Pasal 15
(1) Pemeliharaan jenis tumbuhan
dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4)
huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi
jenis tumbuhan dan satwa.
(2) Pemeliharaan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan satwa di
lembaga konservasi.
(3) Pemeliharaan jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat :
a.
memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa;
b.
menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan
nyaman;
c.
mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam
bidang medis dan pemeliharaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar
habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
oleh Menteri.
|
||
|
||
Pasal 16
(1) Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b dilaksanakan untuk
pengembangan populasi di alam agar tidak punah.
(2) Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan tetap
menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.
(3) Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya
wajib memenuhi syarat :
a.
menjaga kemurnian jenis;
b.
menjaga keanekaragaman genetik;
c.
melakukan penandaan dan sertifikasi;
d.
membuat buku daftar silsilah (Studbook).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis
tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
Pasal 17
(1) Pengkajian, penelitian dan
pengembangan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c dilakukan sebagai upaya untuk menunjang tetap
terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan
satwa secara lestari.
(2) Kegiatan pengkajian, penelitian dan
pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis
baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan ujicoba.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan
dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
|
||
Pasal 18
(1) Rehabilitasi satwa di luar
habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf d dilaksanakan
untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab berada di lingkungan
manusia, untuk dikembalikan ke habitatnya.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
kegiatan-kegiatan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati dan
memilih satwa yang layak untuk dikembalikan ke habitatnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
Pasal 19
(1) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (4) huruf e dilaksanakan untuk mencegah kepunahan lokal
jenis tumbuhan dan satwa akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia.
(2) Penyelamatan jenis tumbuhan
dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
:
a.
memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya
yang lebih baik;
b.
mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau
apabila tidak mungkin, menyerahkan atau menitipkan di Lembaga Konservasi atau
apabila rusak, cacat atau tidak memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya.
|
||
|
||
|
||
Pasal 20
(1) Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi
hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
||
|
||
|
||
Pasal 21
(1) Jenis tumbuhan dan satwa
hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya dengan syarat :
a.
habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran
asli jenis yang dilepaskan;
b.
tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara
fisik sehat dan memiliki keragaman genetik yang tinggi;
c.
memperhatikan keberadaan penghuni habitat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembali
jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
BAB V
LEMBAGA KONSERVASI |
||
|
||
Pasal 22
(1) Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu
pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap
mempertahankan kemurnian jenisnya.
(2) Disamping mempunyai fungsi
utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Lembaga Konservasi juga berfungsi
sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu
pengetahuan.
(3) Lembaga Konservasi dapat
berbentuk Kebun Binatang, Musium Zoologi, Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan
Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
Pasal 23
(1) Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh tumbuhan dan atau satwa
baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui :
a. pengambilan
atau penangkapan dari alam;
b. hasil sitaan;
c. tukar menukar;
d. pembelian,
untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa untuk Lembaga Konservasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
Pasal 24
(1) Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan
jenis tumbuhan dan satwa, Lembaga Konservasi dapat melakukan tukar menukar
tumbuhan atau satwa yang dilindungi dengan lembaga sejenis di luar negeri.
(2) Tukar menukar sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan jenis-jenis yang nilai
konservasinya dan jumlahnya seimbang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar
menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
BAB VI
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN
DAN SATWA YANG
DILINDUNGI
|
||
|
||
Pasal 25
(1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan
satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik
Indonesia atau dari dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan atas
dasar ijin Menteri.
(2) Pengiriman atau
pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus :
a.
dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan
dan satwa dari instansi yang berwenang;
b.
dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang
berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
BAB VII
SATWA YANG MEMBAHAYAKAN KEHIDUPAN MANUSIA |
||
|
||
Pasal 26
(1) Satwa yang karena suatu sebab
keluar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia, harus digiring
atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan ke habitatnya atau
apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa
dimaksud dikirim ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara.
(2) Apabila cara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilaksanakan, maka satwa yang mengancam
jiwa manusia secara langsung dapat dibunuh.
(3) Penangkapan atau pembunuhan satwa yang
dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh
petugas yang berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang membahayakan kehidupan
manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
oleh Menteri.
|
||
|
||
|
||
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN |
||
|
||
Pasal 27
(1) Dalam rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan dan
pengendalian.
(2) Pengawasan dan pengendalian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang
berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pengawasan dan pengendalian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan melalui tindakan :
a.
preventif; dan
b.
represif.
(4) Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) huruf a meliputi :
a.
penyuluhan;
b.
pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat
penegak hukum;
c.
penerbitan buku-buku manual identifikasi jenis
tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan yang tidak dilindungi.
(5)
Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi
tindakan penegakan hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
|
||
|
||
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN |
||
|
||
Pasal 28
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka
segala peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang telah ada sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini.
|
||
BAB X
KETENTUAN PENUTUP |
||
|
||
Pasal 29
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BACHARUDDIN
JUSUF HABIBIE
|
|
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27
Januari 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
AKBAR TANDJUNG
|
|
|
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 14
|
|
|
Salinan sesuai
dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala
Biro Peraturan
Perundang-undangan
I
ttd.
Lambock V. Nahattands
|
LAMPIRAN
|
:
|
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
7 TAHUN 1999
TANGGAL 27 Januari 1999
|
|
||
|
||
Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi |
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
|
MAMALIA (MENYUSUI)
Anoa
depressicornis
Anoa quarlesi
Arctictis
binturong
Arctonyx
collaris
Babyrousa
babyrussa
Balaenoptera
musculus
Balaenoptera
physalus
Bos sondaicus
Capricornis
sumatrensis
Cervus kuhli;
Axis kuhli
Cervus spp.
Cetacea
Cuon alpinus
Cynocephalus
variegatus
Cynogale
bennetti
Cynopithecus
niger
Dendrolagus
spp.
Dicerorhinus
sumatrensis
Dolphinidae
Dugong dugon
Elephas
indicus
Felis badia
Felis
bengalensis
Felis marmorota
Felis
planiceps
|
Anoa
dataran rendah, Kerbau Pendek
Anoa
pegunungan
Binturung
Pulusan
Babirusa
Paus
biru
Paus
bersirip
Banteng
Kambing
Sumatera
Rusa
Bawean
Menjangan,
Rusa, Sambar
(semua
jenis dari genus Cervus)
Paus
(semua jenis dari famili Cetacea)
Ajag
Kubung,
Tando, Walangkekes
Musang
air
Monyet
Hitam Sulawesi
Kanguru
pohon
(semua
jenis dari genus Dendrolagus)
Badak
Sumatera
Lumba-lumba
air laut
(Semua
jenis dari famili Dolphinidae)
Duyung
Gajah
Kucing
merah
Kucing
hutan, Meong congkok
Kuwuk
Kucing
dampak
|
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
26.27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
|
Felis temmincki
Felis
viverrinus
Helarctos
malayanus
Hylobatidae
Hystrix
brachyura
Iomys
horsfieldi
Lariscus hosei
Lariscus
insignis
Lutra lutra
Lutra
sumatrana
Macaca
brunnescens
Macaca maura
Macaca
pagensis
Macaca
tonkeana
Macrogalidea
musschenbroeki
Manis javanica
Megaptera
novaeangliae
Muntiacus
muntjak
Mydaus
javanensis
Nasalis
larvatus
Neofelis
nebulusa
Nesolagus
netscheri
Nyticebus
coucang
Orcaella
brevirostris
Panthera
pardus
Panthera
tigris sondaica
Panthera
tigris sumatrae
Petaurista
elegans
Phalanger spp.
Pongo pygmaeus
Presbitys frontata
Presbitys
rubicunda
Presbitys
aygula
Presbitys
potenziani
Presbitys
thomasi
|
Kucing
emas
Kucing
bakau
Beruang
madu
Owa,
Kera tak berbuntut
(Semua
jenis dari famili Hylobatidae)
Landak
Bajing
terbang ekor merah
Bajing
tanah bergaris
Bajing
tanah, tupai tanah
Lutra
Lutra
Sumatera
Monyet
Sulawesi
Monyet
Sulawesi
Bokoi,
Beruk Mentawai
Monyet
jambul
Musang
Sulawesi
Trenggiling,
Peusing
Paus
bongkok
Kidang,
Muncak
Sigung
Kahau,
Bekantan
Harimau
dahan
Kelinci
Sumatera
Malu-malu
Lumba-lumba
air tawar, Pesut
Macan
kumbang, Macan tutul
Harimau
Jawa
Harimau
Sumatera
Cukbo,
Bajing terbang
Kuskus
(semua
jenis dari genus Phalanger)
Orang
Utan, Mawas
Lutung
dahi putih
Lutung
merah, Kelasi
Surili
Joja,
Lutung Mentawai
Rungka
|
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
61.
62.
63.64.
65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
78.
79.
80.
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
|
Prionodon
linsang
Prochidna
bruijni
Ratufa bicolor
Rhinoceros
sondaicus
Simias
concolor
Tapirus
indicus
Tarsius spp.
Thylogale spp.
Tragulus spp.
Ziphiidae
AVES (BURUNG)
Accipitridae
Aethopyga
exima
Aethopyga
duyvenbodei
Alcedinidae
Alcippe
pyrrhoptera
Anhinga
melanogaster
Aramidopsis
plateni
Argusianus
argus
Bubulcus ibis
Bucerotidae
Cacatua
galerita
Cacatua
goffini
Cacatua moluccensis
Cacatua
sulphurea
Cairina
scutulata
Caloenas
nicobarica
Casuarius
bennetti
|
Musang
congkok
Landak
Irian, Landak semut
Jelarang
Badak
Jawa
Simpei
Mentawai
Tapir,
Cipan, Tenuk
Binatang
hantu, Singapuar
(semua
jenis dari genus Tarsius)
Kanguru
tanah
(semua
jenis dari genus Thylogale)
Kancil,
Pelanduk, Napu
(semua
jenis dari genus Tragulus)
Lumba-luma
air laut
(semua
jenis dari famili Ziphiidae)
Burung
alap-alap, Elang
(semua
jenis dari famili Accipitridae)
Jantingan
gunung
Burung
madu Sangihe
Burung
udang, Raja udang
(semua
jenis dari famili Alcedinidae)
Brencet
wergan
Pecuk
ular
Mandar
Sulawesi
Kuau
Kuntul,
Bangau Putih
Julang,Enggang,Rangkong,Kangkareng
(semua
jenis dari famili Bucerotidae)
Kakatua
putih besar jambul kuning
Kakatua
gofin
Kakatua
seram
Kakatua
kecil jambul kuning
Itik
liar
Junai,
Burungmas, Minata
Kasuari
kecil
|
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
88.
89.
90.91.
92.
93.
94.
95.
96.
97.
98.
99.
100.
101.
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.
113.
114.
115.
116.
117.
118.
|
Casuarius
casuarius
Casuarius
unappenddiculatus
Ciconia
episcopus
Colluricincla
megarhyncha
Sanghirensis
Crocias
albonotatus
Ducula
whartoni
Egretta sacra
Egretta spp.
Elanus
caerulleus
Elanus
hypoleucus
Eos histrio
Esacus
magnirostris
Eutrichomyias
rowleyi
Falconidae
Fregeta
andrewsi
Garrulax
rufifrons
Goura spp.
Gracula
religiosa mertensi
Gracula
religiosa robusta
Gracula
religiosa venerata
Grus spp.
Himantopus
himantopus
Ibis cinereus
Ibis
leucocephala
Lorius roratus
Leptoptilos
javanicus
Leucopsar
rothschildi
Limnodromus
semipalmatus
Lophozosterops
javanica
Lophura
bulweri
Loriculus
catamene
|
Kasuari
Kasuari
gelambir satu,
Kasuari
leher kuning
Bangau
hitam, Sandanglawe
Burung
sohabe coklat
Burung
matahari
Pergam
raja
Kuntul
karang
Kuntul,
Bangau putih
(semua
jenis dari genus Egretta)
Alap-alap
putih, Alap-alap tikus
Alap-alap
putih, Alap-alap tikus
Nuri
Sangir
Wili-wili,
Uar, Bebek laut
Seriwang
Sangihe
Burung
alap-alap, Elang
(semua
jenis dari famili Falconidae)
Burung
gunting, Bintayung
Burung
kuda
Burung
dara mahkota, Burung titi,
Mambruk
(semua
jenis dari genus Goura)
Beo
Flores
Beo
Nias
Beo
Sumbawa
Jenjang
(semua jenis genus Grus)
Trulek
lidi, Lilimo
Bluwok,
Walangkadak
Bluwok
berwarna
Bayan
Marabu,
bangau tongtong
Jalak
Bali
Blekek
asia
Burung
kaca mata leher abu-abu
Beleang
ekor putih
Serindit
Sangihe
|
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
119.
120.
121.
122.
123.
124.125.
126.
127.
128.
129.
130.
131.
132.
133.
134.
135.
136.
137.
138.
139.
140.
141.
142.
143.
144.
145.
146.
147.
148.
|
Loriculus
exilis
Lorius
domicellus
Macrocephalon
maleo
Megalaima
armillaris
Megalaima
corvina
Megalaima
javensis Megapodiidae
Megapodius
reintwardtii
Meliphagidae
Musciscapa
ruecki
Mycteria
cinerea
Nectariniidae
Numenius spp.
Nycticorax
caledonicus
Otus migicus
beccarii
Pandionidae
Paradiseidae
Pavo muticus
Pelecanidae
Pittidae
Plegadis
falcinellus
Polyplectron
malacense
Probosciger
aterrimus
Psaltria
exilis
Pseudibis
davisoni
Psittrichas
fulgidus
Ptilonorhynchidae
Rhipidura
euryura
Rhipidura javanica
Rhipidura
phoenicura
|
Serindit
Sulawesi
Nori
merah kepala hitam
Burung
maleo
Cangcarang
Haruku,
ketuk-ketuk
Tulung
tumpuk, Bultok Jawa
Maleo,
Burung gosong
(semua
jenis dari famili Megapodidae)
Burung
gosong
Burung
sesap, Pengisap madu
(semua
jenis dari famili Meliphagidae)
Burung
kipas biru
Bangau
putih susu, Bluwok
Burung
madu, Jantingan, Klaces
(semua
jenis dari famili Nectariniidae)
Gagajahan
(semua
jenis dari genus Numenius)
Kowak
merah
Burung
hantu Biak
Burung
alap-alap, Elang
(semua
jenis dari famili Pandionidae)
Burung
cendrawasih
(semua
jenis dari famili Paradiseidae)
Burung
merak
Gangsa
laut
(semua
jenis dari famili Pelecanidae)
Burung
paok, Burung cacing
(semua
jenis dari famili Pittidae)
Ibis
hitam, roko-roko
Merak
kerdil
Kakatua
raja, Kakatua hitam
Glatik
kecil, Glatik gunung
Ibis
hitam punggung putih
Kasturi
raja, Betet besar
Burung
namdur, Burung dewata
Burung
kipas perut putih, Kipas gunung
Burung
kipas
Burung
kipas ekor merah
|
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
149.
150.
151.
152.
153.154.
155.
156.
157.
158.
159.
160.
161.
162.
163.
164.
165.
166.
167.
168.
169.
170.
171.
172.
173.
174.
175.
176.
177.
178.
179.
180.
181.
|
Satchyris
grammiceps
Satchyris
melanothorax
Sterna
zimmermanni
Sternidae
Sturnus
melanopterus
Sula abbotti
Sula
dactylatra
Sula
leucogaster
Sula-sula
Tanygnathus
sumatranus
Therskiornis
aethiopicus
Trichoglossus
ornatus
Tringa
guttifer
Trogonidae
Vanellus
macropterus
REPTILIA (MELATA)
Batagur baska
Caretta
caretta
Carettochelys
insculpta
Chelodina
novaeguineae
Chelonia mydas
Chitra indica
Chlamydosaurus
kingii
Chondropython
viridis
Crocodylus
novaeguineae
Crocodylus
porosus
Crocodylus
siamensis
Dermochelys
coriacea
Elseya
novaeguineae
Eretmochelys
imbricata
Gonychephalus dilophus
Hydrasaurus
amboinensis
Lepidochelys
olivacea
Natator
depressa
|
Burung
tepus dada putih
Burung
tepus pipi perak
Dara
laut berjambul
Burung
dara laut
(semua
jenis dari famili Sternidae)
Jalak
putih, Kaleng putih
Gangsa
batu aboti
Gangsa
batu muka biru
Gangsa
batu
Gangsa
batu kaki merah
Nuri
Sulawesi
Ibis
putih, Platuk besi
Kasturi
Sulawesi
Trinil
tutul
Kasumba,
Suruku, Burung luntur
Trulek
ekor putih
Tuntong
Penyu
tempayan
Kura-kura
Irian
Kura
Irian leher panjang
Penyu
hijau
Labi-labi
besar
Soa
payung
Sanca
hijau
Buaya
air tawar Irian
Buaya
muara
Buaya
siam
Penyu
belimbing
Kura
Irian leher pendek
Penyu
sisik
Bunglon
sisir
Soa-soa,
Biawak ambon, Biawak pohon
Penyu
ridel
Penyu
pipih
|
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
182.
183.
184.
185.
186.
187.
188.
189.
190.
191.
192.
193.
194.
195.
196.
197.
198.
199.
200.
201.
202.
203.
204.
205.
206.
207.
208.
209.
210.
211.
212.
213.
214.
|
Orlitia
borneensis
Python molurus
Python
timorensis
Tiliqua gigas
Tomistoma
schlegelii
Varanus
borneensis
Varanus gouldi
Varanus
indicus
Varanus
komodoensis
Varanus
nebulosus
Varanus
prasinus
Varanus
timorensis
Varanus
togianus
INSECTA (SERANGGA)
Cethosia
myrina
Ornithoptera
chimaera
Ornithoptera
goliath
Ornithoptera
paradisea
Ornithoptera
priamus
Ornithoptera
rotschldi
Ornithoptera
tithonus
Trogonotera
brookiana
Troides
amphrysus
Troides
andromanche
Troides criton
Troides
haliphron
Troides helena
Troides
hypolitus
Troides meoris
Troides
miranda
Troides plato
Troides
rhadamantus
Troides
riedeli
Troides
vandepolli
|
Kura-kura
gading
Sanca
bodo
Sanca
Timor
Kadal
Panana
Senyulong,
Buaya sapit
Biawak
Kalimantan
Biawak
coklat
Biawak
Maluku
Biawak
Komodo, Ora
Biawak
abu-abu
Biawak
hijau
Biawak
Timor
Biawak
Togian
Kupu
bidadari
Kupu
sayap burung peri
Kupu
sayap burung goliat
Kupu
sayap burung surga
Kupu
burung priamus
Kupu
burung rotsil
Kupu
burung titon
Kupu
trogon
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
Kupu
raja
|
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
215.
216.
217.
218.
219.
220.
221.
222.
223.
223.
225.
226.
227.
228.
229.
230.
231.
232.
233.
234.
235.
236.
|
PISCES (IKAN)
Homaloptera
gymnogaster
Latimeria
chalumnae
Notopterus
spp.
Pritis spp.
Puntius
microps
Scleropages
formosus
Scleropages
jardini
ANTHOZOA (KORAL)
Antiphates
spp.
BIVALVIA
Birgus latro
Cassis cornuta
Charonia
tritonis
Hippopus
hippopus
Hippopus
porcellanus
Nautilus
pompillius
Tachipleus
gigas
Tridacna
crocea
Tridacna
derasa
Tridacna gigas
Tridacna
maxima
Tridacna
squamosa
Trochus
niloticus
Turbo marmoratus
|
Selusur
Maninjau
Ikan
raja laut
Belida
Jawa, Lopis Jawa
(semua
jenis dari genus Notopterus)
Pari
Sentani, Hiu Sentani
(semua
jenis dari genus Pritis)
Wader
goa
Peyang
malaya, Tangkelasa
Arowana
Irian, Peyang Irian, Kaloso
Akar
bahar, Koral hitam
(semua
jenis dari genus Antiphates)
Ketam
kelapa
Kepala
kambing
Triton
terompet
Kima
tapak kuda, Kima kuku beruang
Kima
cina
Nautilus
berongga
Ketam
tapak kuda
Kima
kunia, Lubang
Kima
selatan
Kima
raksasa
Kima
kecil
Kima
sisik, Kima seruling
Troka,
susur bundar
Batu
laga, Siput hijau
|
No.
|
Nama
Ilmiah
|
Nama
Indonesia
|
237.
238.
239.
240.
241.
242.
243. 244.
245.
246.
247.
248.
249.
250.
251.
252.
253.
254.
255.
256.
257.
258.
|
TUMBUHANI. PALMAE
Amorphophallus
decussilvae
Amorphophallus
titanum
Borrassodendron
borneensis
Caryota no
Ceratolobus
glaucescens
Cystostachys
lakka
Cystostachys rondaEugeissona utilis
Johanneste
ijsmaria altifrons
Livistona spp.
Nenga gajah
Phoenix
paludosa
Pigafatta
filaris
Pinanga javana
II. RAFFLESSIACEA
Rafflesia spp.
III. ORCHIDACEAE
Ascocentrum
miniatum
Coelogyne
pandurata
Corybas
fornicatus
Cymbidium
hartinahianum
Dendrobium
catinecloesum
Dendrobium
d’albertisii
Dendrobium
lasianthera
|
Bunga
bangkai jangkung
Bunga
bangkai raksasa
Bindang,
Budang
Palem
raja/Indonesia
Palem
Jawa
Pinang
merah Kalimantan
Pinang
merah Bangka
Bertan
Daun
payung
Palem
kipas Sumatera
(semua
jenis dari genus Livistona)
Palem
Sumatera
Korma
rawa
Manga
Pinang
Jawa
Rafflesia,
Bunga Padma
(semua
jenis dari genus Rafflesia)
Anggrek
kebutan
Anggrel
hitam
Anggrek
koribas
Anggrek
hartinah
Anggrek
karawai
Anggrek
albert
Anggrek
stuberi
|
No.
|
Nama Ilmiah |
Nama
Indonesia
|
259.
260.
261.
262.
263.
264.
265.
266.
267.
268.
269.
270.
271.272.
273.
274.
275.
276.
277.
278.
279.
280.
281.
282.
283.
284.
285.
286.
|
Dendrobium
macrophyllum
Dendrobium
ostrinoglossum
Dendrobium
phalaenopsis
Grammatophyllum
papuanum
Grammatophyllum
speciosum
Macodes petola
Paphiopedilum
chamberlainianum
Paphiopedilum
glaucophyllum
Paphiopedilum
praestans
Paraphalaenopsis
denevei
Paraphalaenopsis
laycockii
Paraphalaenopsis
serpentilingua
Phalaenopsis
amboinensis
Phalaenopsis
gigantea
Phalaenopsis
sumatrana
Phalaenopsis
violacose
Renanthera
matutina
Spathoglottis
zurea
Vanda celebica
Vanda
hookeriana
Vanda pumila
Vanda
sumatrana
IV. NEPHENTACEAE
Nephentes spp.
V. DIPTEROCARPACEAE
Shorea
stenopten
Shorea
stenoptera
Shorea
gysberstiana
Shorea pinanga
Shorea
compressa
|
Anggrek
jamrud
Anggrek
karawai
Anggrek
larat
Anggrek
raksasa Irian
Anggrek
tebu
Anggrek
ki aksara
Anggrek
kasut kumis
Anggrek
kasut berbulu
Anggrek
kasut pita
Anggrek
bulan bintang
Anggrek
bulan Kalimantan Tengah
Anggrek
bulan Kalimantan Barat
Anggrek
bulan Ambon
Anggrek
bulan raksasa
Anggrek
bulan Sumatera
Anggrek
kelip
Anggrek
jingga
Anggrek
sendok
Vanda
mungil Minahasa
Vanda
pensil
Vanda
mini
Vanda
Sumatera
Kantong
semar
(semua
jenis dari genus Nephentes)
Tengkawang
Tengkawang
Tengkawang
Tengkawang
Tengkawang
|
No.
|
Nama Ilmiah |
Nama
Indonesia
|
287.
288.
289.
290.
291.
292.
293.
294.
|
Shorea seminis
Shorea
martiniana
Shorea
mexistopteryx
Shorea
beccariana
Shorea
micrantha
Shorea
palembanica
Shorea
lepidota
Shorea
singkawang
|
Tengkawang
Tengkawang
Tengkawang
Tengkawang
Tengkawang
Tengkawang
Tengkawang
Tengkawang
|
<div
align="right">
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BACHARUDDIN
JUSUF HABIBIE
|
|
Salinan sesuai
dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala
Biro Peraturan
Perundang-undangan
I
ttd.
Lambock V. Nahattands
|
PRESIDEN
REPUBLIK
INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG
PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA
|
|
|
UMUM
|
Bangsa Indonesia dikaruniai oleh Tuhan
Yang Maha Esa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang terdiri dari
sumber daya alam hewani, sumber daya alam nabati dan ekosistemnya.
|
|
Sumber daya alam hayati tersebut dapat
dijadikan salah satu modal dasar pembangunan-pembangunan nasional Indonesia
yang berkelanjutan
|
|
Agar sumber daya alam hayati yang
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan modal dasar pembangunan nasional
Indonesia tersebut tidak cepat punah sehingga dapat dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka sumber daya alam hayati tersebut
perlu dikonservasikan melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
|
|
Mengingat akan kepentingan-kepentingan
tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan sebagai
landasan hukum bagi pelaksanaan kegiatan pengawetan jenis tumbuhan dan satwa
diperlukan peraturan perundang-perundangan berbentuk Peraturan Pemerintah.
|
|
PASAL DEMI
PASAL
|
|
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Kemampuan suatu populasi untuk
berkembang bergantung pada keseimbangan
antara kemampuan reproduksi dan kondisi-kondisi alam yang
mempengaruhinya. Pada kondisi lingkungan yang paling mendukung, keseimbangan
populasi akan tercapai pada saat daya dukung habitatnya terpenuhi.
Populasi suatu jenis dapat terbagi-bagi ke dalam
kelompok-kelompok yang dapat disebut sebagai sub populasi yang mempunyai
keseimbangan tersendiri dengan habitat dan lingkungannya
Angka 8
Cukup jelas
|
|
Pasal 2
Jenis-jenis tumbuhan dan satwa
tertentu karena faktor-faktor biologis, ekologis dan geografis dari jenis
tersebut maupun faktor-faktor yang disebabkan oleh tindakan manusia telah
mengalami keadaan dimana keberlangsungan kehidupannya terancam dan dapat
punah dalam waktu dekat apabila tidak ada tindakan pengawetan.
Pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa untuk mencegah atau menghindari terjadinya kepunahan dari suatu jenis
tumbuhan dan satwa. Kecuali itu, keberadaan jenis tumbuhan dan satwa harus
tetap terjaga kemurnian jenisnya serta tetap terjaga keanekaragaman genetik
tanpa merubah sifat-sifat alami jenis tumbuhan dan satwa.
Dengan
mengawetkan jenis-jenis tumbuhan dan
satwa, maka populasi jenis tumbuhan
dan satwa dapat meningkat dan mencapai tingkat yang secara dinamik mantap.
Karena suatu jenis tumbuhan maupun satwa merupakan bagian dari ekosistem,
maka kemantapan populasi jenis tersebut dapat menjamin keseimbangan dan
kemantapan ekosistem.
|
|
|
Pasal 3
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal
Menteri memiliki data dan informasi ilmiah yang cukup bahwa suatu jenis
tumbuhan dan satwa telah memenuhi kriteria untuk dilindungi, atau Menteri menerima usulan
dari instansi pemerintah lain atau
Lembaga Swadaya Masyarakat untuk melindungi suatu jenis tumbuhan atau
satwa dengan informasi ilmiah yang cukup, maka Menteri dapat menetapkan jenis
tersebut dilindungi. Dalam hal usulan melindungi suatu jenis tumbuhan atau
satwa datang dari LIPI, maka Menteri
langsung menetapkan jenis yang diusulkan menjadi dilindungi.
|
|
|
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf
a
Suatu jenis
dikatakan mempunyai populasi yang kecil apabila dicirikan oleh paling tidak
salah satu dari hal-hal berikut :
a.
berdasarkan observasi, dugaan maupun proyeksi
terdapat penurunan secara tajam pada jumlah individu dan luas serta kualitas
habitat;
b.
setiap sub populasi jumlahnya kecil;
c.
mayoritas individu dalam satu atau lebih fase
sejarah hidupnya pernah terkonsentrasi hanya pada satu sub populasi saja;
d.
dalam waktu yang pendek pernah mengalami fluktuasi
yang tajam pada jumlah individu;
e.
karena sifat biologis dan tingkah laku jenis
tersebut seperti migrasi jenis tersebut dan rentan terhadap bahaya kepunahan.
Huruf
b
Adanya
penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, dapat diketahui
berdasarkan :
a.
observasi dimana saat ini sedang terjadi
penurunan tajam atau terjadi di waktu
yang telah lampau namun ada potensi untuk terjadi kembali;
atau
b.
dugaan atau proyeksi yang didasarkan pada paling
tidak salah satu dari hal-hal berikut :
1)
penurunan areal atau kualitas habitat;
2)
ancaman dari faktor luar seperti adanya pengaruh
patogen, kompetitor, parasit, predator, persilangan, jenis asing (jenis
introduksi), dan pengaruh racun atau polutan; atau
3)
menurunnya potensi reproduksi.
Huruf
c
Daerah
penyebaran yang terbatas, dicirikan dengan paling sedikit salah satu dari hal
berikut :
a.
terjadi fragmentasi populasi;
b.
hanya terdapat di satu atau beberapa lokasi (endemik);
c.
terjadi fluktuasi yang besar pada jumlah sub
populasi atau jumlah areal penyebarannya;
d.
berdasarkan observasi, dugaan maupun proyeksi
terdapat penurunan yang tajam pada paling tidak salah satu dari hal berikut :
1)
areal penyebaran;
2) jumlah sub
populasi;
3) jumlah
individu;
4) luas dan
kualitas habitat;
5) potensi
reproduksi.
Ayat (2)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 6
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 7
Pada saat ditetapkannya
Peraturan Pemerintah ini, ketentuan mengenai kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998
tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
|
|
|
Pasal 8
Ayat (1)
Pengawetan
jenis tumbuhan dan satwa yang paling ideal dilakukan di dalam habitatnya
(konservasi in situ) melalui
kegiatan pengelolaan populasi dan pengelolaan habitat sehingga dihasilkan
keseimbangan antara populasi dan habitatnya.
Ayat (2)
Dalam banyak hal, karena adanya tekanan terhadap populasi atau habitat,
kegiatan konservasi in-situ saja tidak cukup untuk
melalukan pengawetan jenis-jenis tumbuhan dan satwa, sehingga harus didukung
dengan pengelolaan jenis di luar habitatnya (konservasi ex-situ). Tujuan konservasi ex
situ adalah melepaskan kembali tumbuhan dan satwa ke
dalam habitatnya sehingga dapat berkembang secara alami dan mencapai tingkat
keseimbangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
|
Pasal 9
Ayat (1)
Untuk
menetapkan suatu jenis tumbuhan atau satwa sebagai jenis yang dilindungi
harus didasarkan pada informasi yang memadai tentang populasi,
kondisi-kondisi biologis dan ekologis jenis yang bersangkutan termasuk
habitat dan lingkungannya. Informasi yang paling akurat didapatkan melalui
kegiatan inventarisasi. Namun demikian
inventarisasi sering membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang sangat
besar, sehingga sambil menunggu inventarisasi yang lebih rinci, penetapan
jenis tumbuhan atau satwa sebagai jenis yang dilindungi dapat didasarkan dari
hasil identifikasi yang menggambarkan keadaan populasi jenis tersebut secara
garis besar dan dihubungkan dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Identifikasi
diperlukan untuk mengetahui gambaran secara umum (kualitatif) status populasi suatu jenis
tumbuhan atau satwa. Dari identifikasi
sudah dapat diketahui bahwa suatu jenis tumbuhan atau satwa dapat digolongkan
menjadi jenis yang dilindungi.
Ayat (2)
Cukup jelas
|
|
|
|
Pasal 10
Ayat (1)
Inventarisasi
merupakan kegiatan untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa termasuk
habitatnya.
Secara rinci informasi tentang kondisi populasi yang
penting diperoleh melalui kegiatan
inventarisasi diantaranya dalam rangka perumusan kebijaksanaan antara lain
berupa :
a.
data populasi termasuk status biologisnya;
b.
peta penyebaran jenis beserta habitatnya dengan
skala yang cukup rinci;
c.
keadaan habitat.
Ayat (2)
Idealnya
jumlah individu dari suatu populasi perlu diketahui, namun hal tersebut
kecuali sulit juga memerlukan biaya yang tinggi sehingga dengan inventarisasi
dapat dilakukan pendugaan-pendugaan tentang keadaan populasi suatu jenis
dengan metoda survei serta teknik-teknik lain yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan. Hasil inventarisasi
harus didokumentasikan secara baik dengan menggunakan teknologi
pengelolaan data yang tersedia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 11
Ayat (1)
Dalam rangka perumusan
kebijaksanaan pengawetan, jenis tumbuhan dan satwa, harus dilakukan
pemantauan terhadap dinamika populasi.
Ayat (2)
Pemantauan secara berkala harus
dilakukan, terutama terhadap jenis-jenis yang dilindungi dan jenis-jenis yang
diperdagangkan dan mengalami tekanan perburuan atau yang mengalami tekanan
terhadap habitatnya. Metoda pemantauan terhadap populasi tumbuhan dan satwa,
seperti survei harus standar dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan,
serta dapat dengan mudah dilaksanakan oleh petugas lapangan.
Dalam menentukan metoda yang
standar, Menteri perlu bekerjasama dan berkonsultasi dengan LIPI atau lembaga-lembaga
lain, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil pemantauan harus
didokumentasikan secara baik dengan menggunakan teknologi pengelolaan data
yang tersedia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Penjarangan dilakukan apabila
populasi telah melampaui daya dukung habitat dan dapat dilakukan hanya jika
jenis yang bersangkutan tidak dilindungi. Atau apabila jenis yang bersangkutan
dilindungi, daya dukung habitatnya tidak dapat ditingkatkan atau tidak ada
habitat lain yang dapat menampungnya apabila dilakukan relokasi.
Penjarangan sedapat mungkin
dilakukan dengan cara menangkap hidup-hidup, atau melalui kegiatan perburuan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai perburuan satwa buru
atau dalam Peraturan Pemerintah mengenai pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa
liar.
Huruf e
Penambahan tumbuhan atau satwa
asli dimaksudkan untuk menambah atau merehabilitasi populasi dan atau habitat
yang rusak. Yang dimaksud dengan jenis asli yaitu jenis yang pernah hidup di
daerah yang akan direhabilitasi atau daerah yang akan direhabilitasi
merupakan daerah penyebaran jenis dimaksud. Pemasukan jenis-jenis asing harus
dihindarkan.
Huruf f
Jenis tumbuhan
dan satwa pengganggu terdiri dari golongan :
a.
jenis asli;
b.
jenis asing (exotic).
Gangguan dari jenis-jenis asli
terjadi karena adanya persaingan alami antar jenis dimana salah satu jenis
mengungguli dan cenderung memusnahkan jenis yang lain yang umumnya terjadi
pada habitat ekosistem yang tidak berada pada tingkat keseimbangan.
Pengendalian gangguan dari jenis asli dilakukan dengan pembinaan populasi
seperti penjarangan terhadap jenis pengganggu dan pembinaan habitat.
Jenis-jenis asing (exotic) adalah jenis-jenis yang dalam
sejarahnya tidak pernah hidup di kawasan geografi yang bersangkutan secara
alami. Jenis-jenis asing tersebut berada di suatu daerah tertentu karena
dibawa oleh manusia, sehingga jenis-jenis yang demikian harus dimusnahkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan penyelamatan merupakan pertolongan terhadap populasi jenis tumbuhan
atau satwa yang habitatnya telah
menjadi sempit dan terisolasi atau rusak karena adanya bencana alam atau
karena kegiatan manusia sehingga populasi atau sub-populasi jenis yang
bersangkutan menjadi terancam bahaya
kepunahan lokal apabila tetap berada di habitatnya.
Kepunahan
lokal adalah hilangnya suatu sub populasi dari wilayah habitat tertentu
karena habitatnya menjadi sangat sempit, terfragmentasi (terpotong-potong)
atau terisolasi dari populasi aslinya, atau habitatnya rusak dan memerlukan waktu lama untuk
dipulihkan. Dalam keadaan demikian sub-populasi tersebut menjadi terancam
punah sehingga harus diselamatkan melalui kegiatan relokasi atau translokasi
yaitu pemindahan ke wilayah habitat lain yang lebih memadai.
Ayat (2)
Pemindahan ke
lokasi lain (translokasi) merupakan kegiatan memindahkan seluruh sub-populasi
yang terancam ke dalam habitatnya yang lain yang dapat mendukung sub-populasi
tersebut. Pemindahan dapat dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan seperti penggiringan, pengangkutan atau cara-cara
lain yang aman bagi tumbuhan atau satwa dan
bagi manusianya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
|
Pasal 14
Ayat (1)
Pengkajian, penelitian dan
pengembangan jenis tumbuhan dan satwa dalam rangka pengawetan adalah
pengkajian, penelitian dan pengembangan yang harus menunjang terjaganya
keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis dan keanekaragaman ekosistem.
Sedangkan untuk kepentingan pemanfaatan, pengkajian, penelitian dan
pengembangan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengkajian, penelitian dan
pengembangan pada dasarnya dapat dilakukan oleh ilmuwan baik mewakili
instansi maupun perorangan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya. Namun
demikian dalam rangka perumusan kebijaksanaan pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa, pengkajian, penelitian dan pengembangan harus tetap menjadi tanggung
jawab Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 15
Ayat (1)
Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa
bertujuan untuk menyelamatkan dan memelihara sumber daya genetik di
luar habitatnya dalam rangka mendukung konservasi jenis tumbuhan dan satwa di
dalam habitatnya. Pemeliharaan
individu-individu tumbuhan atau satwa
dilakukan karena individu
tersebut karena suatu sebab tidak dapat dikembalikan ke habitatnya sehingga lebih baik dipelihara
sebagai cadangan atau sumber plasma nutfah
dalam rangka pengembangbiakan
di luar habitatnya.
Pemeliharaan
jenis tumbuhan dan satwa dapat berbentuk :
a.
memelihara tumbuhan atau
satwa dalam keadaan hidup;
b.
menyimpan semen beku.
c.
menyimpan biji atau benih di
dalam penyimpanan kering dan dingin.
Ayat (2)
Lembaga konservasi merupakan
tempat yang paling ideal untuk memelihara jenis-jenis tumbuhan dan satwa
dalam rangka pengawetan sumber daya genetik di luar habitatnya.
Ayat
(3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 16
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan pengembangbiakan
adalah usaha memperbanyak individu secara buatan baik di dalam maupun di luar
habitatnya melalui cara-cara sebagai
berikut :
a.
Untuk tumbuhan, memperbanyak individu dilakukan
dengan cara menumbuhkan material untuk tumbuh dari tumbuhan seperti biji,
stek (potongan), pemencaran dari satu rumpun, kultur jaringan tumbuhan dan
spora dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Kemurnian jenis akan
terjaga apabila tidak terjadi pembiakan silang antar jenis (species maupun sub species).
b.
Untuk satwa, memperbanyak individu dilakukan
dengan cara mengawinkan secara alami maupun buatan (inseminasi buatan)
apabila cara reproduksinya adalah kawin dan dengan cara lain apabila cara
reproduksinya adalah tidak kawin baik di dalam maupun di luar habitatnya.
Pengembangbiakan satwa dengan campur
tangan manusia harus memperhatikan etika yang berlaku.
Ayat (2)
Dalam
rangka pengawetan jenis tumbuhan dan satwa ini, pengembangbiakan harus
ditujukan untuk dikembalikan lagi ke habitat alamnya sebagai upaya
meningkatkan populasi di alam. Oleh karena itu dalam pengembangbiakan satwa
yang cara reproduksinya kawin harus dihindari perkawinan antar kerabat (in breeding) dan perkawinan silang
antar jenis atau antar anak jenis agar
dihasilkan individu-individu yang secara genetik sehat dari jenis yang murni.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 17
Ayat (1)
Pengkajian,
penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa yang dilakukan di luar habitatnya adalah dalam rangka
pengawetan dan merupakan penelitian dan pengembangan yang mendukung
konservasi in situ dengan tujuan
terjaganya keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis dan keanekaragaman
ekosistem.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 18
Ayat (1)
Tidak semua
satwa yang berada di luar habitat aslinya dapat langsung dikembalikan ke
habitat alamnya. Hal ini karena individu satwa tersebut telah lama berada di
lingkungan manusia yang membuat adanya ketergantungan terhadap manusia
sehingga apabila langsung dilepaskan ke habitat alamnya akan mengalami
kematian, menularkan penyakit kepada populasi asli di habitat alam, atau
menurunkan mutu genetik (degenerasi) populasi asli di habitat alam. Oleh
sebab itu, untuk mengadaptasikan dan mengkondisikan serta memilih satwa yang
akan dilepaskan kembali ke habitat alamnya
perlu dilakukan rehabilitasi agar mempunyai keadaan dan tingkah laku
seperti populasi asli yang berada di alam.
Rehabilitasi
satwa dilakukan agar satwa yang telah lama berada di lingkungan manusia
mempunyai ketahanan hidup yang tinggi untuk dilepaskan kembali ke alam
serta tidak menganggu populasi asli
yang telah mendiami habitat tersebut melalui penyebaran penyakit dan polusi
genetik.
Ayat (2)
Rehabilitasi
satwa meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a.
mengamati kesehatan satwa;
b.
melakukan pengobatan dan pemberian vitamin dan
makanan tambahan;
c.
melatih dan mengadaptasikan dengan lingkungan
habitat alamnya satwa-satwa yang terpilih untuk dilepaskan ke habitatnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 19
Ayat (1)
Tumbuhan dan satwa yang secara
tidak sah berada di luar habitatnya di bawah penguasaan seseorang harus
diselamatkan untuk dikembalikan ke habitatnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan melepaskan kembali ke habitatnya adalah kegiatan
mengembalikan ke habitat alamnya satwa hasil
pengembangbiakan, penyelamatan, rehabilitasi atau hasil sitaan agar
dapat berkembang biak secara alami dengan memperhatikan daerah sebaran asli
jenis yang bersangkutan, populasi yang telah mendiami habitat tujuan, daya
dukung habitat tujuan dan lingkungannya.
Dalam melepaskan kembali satwa ke habitat alamnya, harus diperhatikan daya
dukung habitat yaitu kemampuan habitat untuk menjamin lestarinya jenis yang
akan dilepaskan. Termasuk dalam komponen daya dukung habitat adalah kecukupan
pakan secara alami dan ruang perlindungan. Habitat yang dipilih untuk
pelepasan kembali harus merupakan tipe habitat yang menurut sejarahnya
diketahui merupakan sebaran asli jenis
yang akan dilepaskan. Sebaran asli adalah suatu wilayah dimana suatu
jenis diketahui pernah ada. Dalam
melepaskan kembali satwa ke habitat alammya harus juga diperhatikan
populasi penghuni yang telah ada baik
dari jenis yang sama maupun dari jenis lain
sehingga dapat dinilai kemungkinan-kemungkinan
adanya persaingan, predasi, simbiose, dan parasitisme.
Secara fisik sehat berarti secara visual terlihat sehat, kuat dan aktif
serta diketahui bebas dari penyakit. Sedangkan keragaman genetik yang tinggi
berarti bukan merupakan hasil pengembangbiakan dimana terjadi kawin antar
kerabat (inbreeding) dan sedapat mungkin merupakan keturunan terdekat
dengan induk yang berasal dari tangkapan di alam. Satwa hasil tangkapan dari
alam dapat dipastikan mempunyai keragaman genetik yang tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas
|
|
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
|
|
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
|
|
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat
(2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
|
|
|
|
Pasal 25
Ayat (1)
Surat izin pengangkutan memuat antara lain :
a.
Nomor surat dan tanggal surat;
b.
Jenis dan jumlah tumbuhan dan atau satwa;
c.
Asal-usul satwa;
d.
Tempat tujuan;
e.
Masa berlaku surat izin;
f.
Pelabuhan atau terminal pemberangkatan;
g.
Pelabuhan atau terminal tujuan;
h.
Ketentuan lain.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Ketentuan teknis pembuatan
kandang satwa serta cara-cara pengangkutan mengikuti ketentuan-ketentuan
dengan standar internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas
|
|
|
|
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan membahayakan kehidupan manusia
adalah dapat mengancam kehidupan manusia yang hidup secara normal di tempat
pemukiman atau lingkungan pemukiman sehingga keberadaan satwa di tempat itu
sangat membahayakan dan dapat mengancam jiwa manusia warga masyarakat dalam
pemukiman tersebut. Satwa yang membahayakan kehidupan manusia tersebut dapat
terjadi karena habitatnya berdampingan dengan pemukiman manusia atau habitat
satwa tersebut telah menjadi sempit dan terisolasi oleh kegiatan manusia
sehingga dalam penjelajahan sehari-hari ke luar dari habitatnya atau karena sudah
tua atau kalah bersaing dan terusir dari kelompoknya sehingga ke luar dari
habitatnya menuju pemukiman manusia.
Satwa yang
berpenyakit dan karena penyakit tersebut membahayakan kehidupan manusia, maka
satwa tersebut dapat dimusnahkan.
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan mengancam secara langsung
apabila satwa tersebut secara langsung diduga akan mencederai atau membunuh
manusia atau menularkan penyakit yang membahayakan kehidupan manusia dan
tidak ada cara lain yang lebih efektif untuk menghidarinya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
|
|
|
|
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan aparat
penegak hukum yang berwenang adalah Polisi Republik Indonesia, Jagawana,
Petugas Bea Cukai, Petugas Karantina dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
|
|
|
Pasal 28
Cukup jelas
|
|
Pasal 29
Cukup jelas
|
|
|
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
3803
|
Thank's gan infonya !!!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id